Sengketa pembebanan biaya (deductibility) seringkali berakar pada interpretasi ketat DJP mengenai definisi natura dan kenikmatan serta pemenuhan syarat biaya 3M (Mendapatkan, Menagih, Memelihara Penghasilan). Kasus PT MHP menjadi preseden penting dalam membatalkan koreksi DJP atas Biaya Usaha (Non-TP) sebesar USD515.616, di mana sebagian besar koreksi didasarkan pada anggapan natura atau kurangnya bukti.
Inti konflik dalam isu biaya operasional ini adalah apakah pengeluaran seperti biaya pengurusan KITAS bagi tenaga kerja asing, biaya sewa kendaraan operasional, dan biaya penanggulangan kebakaran Hutan Tanaman Industri (HTI Fires) dapat dikategorikan sebagai biaya yang wajar dan perlu untuk 3M. DJP berargumen bahwa biaya-biaya terkait fasilitas karyawan (KITAS, sewa kendaraan, pulsa) adalah natura dan kenikmatan yang tidak boleh dibebankan sesuai Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh. DJP juga menolak biaya HTI Fires karena dianggap tidak didukung bukti yang kuat dan tidak memiliki keterkaitan langsung dengan penghasilan.
PT MHP membantah interpretasi DJP dengan tegas. Mereka menegaskan bahwa biaya KITAS dan sewa kendaraan operasional adalah pengeluaran wajib perusahaan untuk memastikan legalitas dan kelancaran operasional, bukan pemberian untuk kepentingan pribadi pegawai. Demikian pula, biaya HTI Fires merupakan biaya yang esensial untuk memelihara aset penghasilan dan didukung oleh Berita Acara Kejadian Kebakaran-Terpadu (BAPKK-T). PT MHP berpegangan pada Pasal 6 ayat (1) UU PPh, yang memungkinkan pembebanan semua biaya 3M.
Resolusi oleh Majelis Hakim menunjukkan kehati-hatian. Majelis membatalkan sebagian besar koreksi (USD445.691). Majelis menolak dalil DJP mengenai natura/kenikmatan, menguatkan bahwa biaya KITAS dan sewa kendaraan operasional adalah biaya 3M yang wajar dan lazim. Biaya HTI Fires dan Biaya Jasa Komisi juga dibatalkan karena didukung bukti yang memadai dan terbukti terkait dengan operasional. Namun, Majelis mempertahankan koreksi atas Cadangan Pesangon (USD69.396). Ini adalah poin krusial, karena pencadangan tersebut secara eksplisit dilarang dibebankan oleh Pasal 9 ayat (1) huruf c UU PPh, dan WP gagal membuktikan telah melakukan koreksi fiskal positif yang memadai di SPT.
Analisis putusan ini menegaskan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban legal atau operasional perusahaan (seperti perizinan dan penanggulangan risiko aset) tidak boleh serta merta diklasifikasikan sebagai natura. Implikasi putusan ini adalah Wajib Pajak harus memperkuat dokumentasi biaya operasional yang tidak rutin. Namun, Wajib Pajak juga diingatkan bahwa pelanggaran terhadap larangan eksplisit (seperti pembebanan dana cadangan) tetap menjadi risiko sengketa yang tinggi, dan koreksi fiskal positif yang sempurna atas pos-pos tersebut adalah langkah mitigasi yang mutlak.